“Duh ayunda, kini aku serahkan kedua anakku Nakula dan Sadewa. Asuh dan rengkuhlah anak-anak yang ditinggalkan oleh ayah dan ibunya ini, sebagai putra-putra ayunda sendiri”.
Kunti tak kuasa menjawab, kecuali merangkul dan mencucurkan air mata membasahi baju putih yang telah dikenakan Dewi Madrim. Bukan manusia saja yang tak kuasa dan tak mampu menahan kesedihan. Jagad dan alam semesta pun tak kuasa menyinarkan seri terangnya kepada persada ibu Pertiwi.
Para Brahmana Resi sangat pilu dan merasa kasihan melihat anak-anak Pandu yang kecil ditinggalkan oleh orang tuanya. Pendek kata, Negara dalam keadaan berkabung, berduka cita, Karena kehilangan pemimpin besarnya. Dalam keadaan yang serba memilukan itu hanya Abiyasalah yang tenang menghadapinya. Mengapa? Karena beliau sudah dapat melihat akibat jauh atas kejadian di Mayapada. Abiyasa perlahan-lahan menghampiri ibunya (Lara Amis) dan dengan tenang dan sopannya ia menghormat kepada ibunya, yang sudah memulai memutih rambutnya. Namun Dewi Lara Amis masih tampak garis keayuannya dan keagungannya. Tidak segarispun ia menunjukkan sifat kemayu, apalagi sifat angkuh, cepat marah dan mencari menang sendiri. Ia benar-benar profil seorang ibu sejati, menunjukkan kehalusan budi, kasih sayang, sabar dan cinta damai. Lara Amis nenek dari almarhum Prabu Pandu dan ibu dari seorang Pendeta besar (Abiyasa) dan isteri seorang Resi Agung (Palasara).
Karena itu Abiyasa dengan hormat dan lemah lembut bersujud sambil berkata:
“Duh ibunda yang kuhormati. Tuhan telah mengatur semua kehidupan dan semua yang kumelip di Mayapada ini dengan adil dan bijaksana. Bagi seorang yang sudah awas dan waspada, tidak akan kisruh lagi menghadapi suatu masalah. Didunia ini tidak ada yang dinamakan kebetulan. Waktu pagi, matahari terbit, sedang waktu sore matahari terbenam. Malam tiba dan terjadi gelap gulita. Namun dikala purnama sidi, bulan yang “wutuh dan ayu” itu akan mampu memancarkan sinar terangnya dan mampu membikin sejuk dan resep (sedap) kepada siapa saja yang melihatnya. Oh ibunda. Masa lamapau telah kita lalui dengan suka dan dukanya. Namun agaknya masa depan sepeninggal cucunda Prabu Pandu ini, dunia dan bangsa Kuru akan lebih banyak mengalami penderitaan. Kita akan memasuki keadaan yang pahit, sakit, dan penuh “dosa derita”.
“Duh ibunda yang sangat kucintai. Inilah yang dinamakan “kala”. Kala tidak bisa dihindari. Oleh karena itu saya mohon dengan segala kerendahan hati, sudilah kiranya ibu tak usah menyaksikan malapetaka dan nasib sedih yang nanti menimpa bangsa Kuru (Pandawa dan Kurawa). Biarlah aku sendiri yang akan menunggu dan menyaksikan malapetaka dan nasib sedih yang akan menimpa bangsa Kuru. Kiranya lebih baik ibu beserta ratu Ambika dan Ambalika berkenan meninggalkan kerajaan Astina, untuk kemudian melakukan “Baktiyoga”, “mengayut ayat winasis”. Lelana laladan sepi, ngingsep sepuh ing sopana, mrih pana pranaweng kapti, titising tyas marsudi, mardawaning budaya tulus, mesu reh kasudarman, neng telenging wanadri, sruning brata kataman wahyu jatmika. (Bali alaming asuwung, anggayuh nirwana).
Yang artinya:
Memilih cara hidup yang dijiwai oleh hikmah. Berkelana ketempat-tempat yang sunyi untuk mencapai kesucian dan kemurnian cita-citanya dan kebaktian jiwa yang murni. Dengan sekuat tenanga menjadi manusia berbudi luhur (sejati). Oleh karena gentur tapanya, beliau dikaruniai wahyu Jatmika, kembali kealam sunyi mencapai kelepasan.
“Duh kanjeng ibu. Marilah kita melakukan dharma dan karma kita masing-masing.”
Demikianlah Dewi Lara Amis menerima saran-saran putranya. Karena itu setelah paripurna pelaksanaan upacara pembakaran jenazah Pandu, maka Dewi Lara Amis beserta Ambika dan Ambalika pergi ke hutan menyepi, melewatkan hari-hari tuanya. Mereka mencuci diri dan mencoba mengurai beban dosa anak cucunya, sedemikian rupa sehingga mencapai kele
Tidak ada komentar:
Posting Komentar